Pemecah

Upaya Memberantas Perdagangan Perempuan Laporan: Priyo Handoko, S.AP, Prostitusi atau kegiatan pelacuran sebagai sebuah patologi sosial merupakan problem yang mau tidak mau harus kita akui selalu ada di setiap ruang sejarah perjalanan umat manusia. Hingga ada sebagian orang yang mengatakan prostitusi mustahil dapat dihapus dengan cara apapun. Keberadaannya telah menjadi takdir sejarah yang tidak akan pupus hingga akhir zaman. Pada proses selanjutnya, ide lokalisasi atau legalisasi aktivitas prostitusi secara eksklusif pada suatu wilayah tertentu, kerap muncul sebagai salah satu solusi yang ditawarkan. Gagasan untuk menciptakan lokalisasi ini dalam realitasnya tidak pernah sepi dari gelombang pro dan kontra, hingga terkadang aksi amuk massa. Ada beberapa alasan yang biasanya mucul sebagai argumen pendukung atas gagasan tentang perlunya pembentukan lokalisasi. Pertama, guna mempermudah kontrol dan pengawasan terhadap praktek-praktek prostitusi, sehingga dapat menekan efek negatif yang ditimbulkannya, semisal penyebaran penyakit kelamin dan HIV/AIDS. Kedua, menghindari merebaknya keresahan sosial seandainya para pelaku prostitusi dibiarkan beredar dijalanan. Ketiga, menjadi media pengendali yang secara perlahan-lahan diyakini akan mampu meminimalisir praktek prostitusi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Intinya, lokalisasi dianggap sebagai solusi akhir yang paling ideal. Sementara itu yang menentang keras hadirnya lokalisasi mengeluarkan alasan-alasan normatif. Menurut mereka, lokalisasi adalah sebuah sikap pembenaran terselubung terhadap prostitusi. Padahal prostitusi merupakan perbuatan maksiat yang seharusnya secara konsisten terus dibasmi. Lagipula apakah benar lokalisasi dapat menjadi media untuk mengontrol dan selanjutnya meminimalisir aktivitas prostitusi. Yang terlihat justru dari hari ke hari praktek prostitusi di lokalisasi semakin bertambah marak. Perdebatan pun kian sengit, ketika kalangan yang pro lokalisasi membantahnya. Menurut mereka, lokalisasi tidak bisa memenuhi fungsi idealnya selama masih ada arus permintaan (demand). Jangan hanya menyalahkan pihak pengelola dan pelaku prostitusi, mereka-mereka para pria hidung belang juga harus mendapat vonis yang seimbang, begitu kira-kira pembelaan mereka. Pada dasarnya, perilaku seks yang menyimpang dengan memanfaatkan jasa lokalisasi atau dunia prostitusi cenderung akan semakin meningkat ketika muncul deviasi pada pola umum perilaku seks di tengah masyarakat, misalnya di keluarga sebagai satuan sosial terkecil. Prilaku seks dan tingkat kedewasaan suatu keluarga di dalam memandangnya dapat menjadi kunci persoalan yang melatarbelakangi munculnya deviasi itu. Karenanya, keharmonisan, pemahaman yang mendalam akan aturan normatif keagamaan dan pengenalan seks yang terkontrol di dalam keluarga dapat menjadi media antisipasi internal yang cukup efektif. Disamping karena masih adanya demand, maka sebenarnya ada persoalan lain yang secara signifikan berperan besar atas berkembangbiaknya gejala prostitusi ditengah masyarakat, yaitu industrialisasi prostitusi. Uraian berikut akan mencoba menjawab persoalan industrialisasi prostitusi beserta imbas turunannya, sekaligus memberikan beberapa tawaran konsep yang harapannya dapat menambah bahan referensi kita. Prostitusi, praktek ekonomi yang menyimpang Praktek prostitusi dilihat dari kaca mata ekonomi sebenarnya merupakan sebuah contoh perilaku ekonomi yang menyimpang. Berbagai istilah telah lahir untuk menyebut orang-orang yang "menjual" dirinya di dalam lingkaran prostitusi ini, dari mulai pelacur, kupu-kupu malam, wanita nakal, wanita tuna susila (WTS), hingga pekerja seks komersial (PSK). Belakangan praktek prostitusi telah berkembang sebagai sebuah aktivitas bisnis yang sangat menggiurkan dengan lika-liku jaringannya yang besar dan rumit. Terus eksisnya praktek prostitusi tidak lagi murni sebagai takdir sejarah, karena terdapat unsur perekayasaan yang berusaha untuk mempertahankan kehadirannya. Tegasnya, praktek prostitusi telah menjadi sebuah aktivitas industri yang memiliki struktur dan melibatkan banyak pihak. Seorang WTS, PSK, atau apapunlah namanya tidak lagi "bekerja" semata-mata untuk dirinya sendiri, namun juga dieksploitasi dengan paksa untuk menghidupi denyut nadi industri. Dario Agnote (1998) menyebutkan bahwa di Indonesia uang yang beredar di dunia prostitusi ini mencapai 1,2 hingga 3,3 milyar dollar AS pertahun, atau mencapai 0,8 hingga 2,4 persen dari GDP Indonesia. Di Jakarta saja, uang yang dihasilkan dari industri ini mencapai angka 191 juta dollar AS pertahun. Ketika terindustrialisasi, lingkaran prostitusi secara sadar memiliki kecenderungan untuk terus mempertahankan dan mengembangkan dirinya. Tumbuh terus demi terakumulasinya modal secara gradual merupakan logika mendasar industri. Karena itulah, pelaku dan penghuni lokalisasi bukannya semakin berkurang, tetapi justru terus bertambah dari hari ke hari. Pertambahan secara kuantitas ini juga disertai oleh penguatan infra dan supra strukturnya yang lain. Data menunjukkan jumlah perempuan di Indonesia yang terperangkap masuk ke dalam industri prostitusi terus meningkat dari tahun ke tahun. Muhammad Farid (1998) memaparkan saat ini paling sedikit ada 650.000 perempuan yang terperangkap dalam industri hitam itu, 30 persen diantaranya adalah anak-anak. Data resmi dari pemerintah menyebutkan angka 150.000 anak-anak pada tahun 1998, dan 72.000 pada tahun 1994. Namun seperti fenomena gunung es, angka resmi memang biasanya jauh lebih kecil ketimbang kenyataan dilapangan, belum lagi akibat turunan dari tekanan krisis ekonomi yang menghantam Indonesia sejak tahun 1998. Tanpa menafikkan faktor-faktor, seperti depresi ekonomi dan rendahnya kesadaran moral, adanya proses industrialisasi prostitusi tidak bisa dipungkiri juga ikut berperan besar mengakselerasi laju pertumbuhan prostitusi di manapun itu. Kebutuhan bagi dunia prostitusi Semenjak prostitusi terindustrialisasi, maka disana mulai berlaku hukum-hukum ekonomi murni. Pemilik modal yang berkuasa, sementara WTS/PSK tak lebih dari budak yang bekerja untuk kepentingan sang pemilik modal. Dalam hegemoni nalar industri yang selalu berusaha meraih keuntungan, maka terdapat beberapa kebutuhan turunan yang mutlak harus dipenuhi. Pertama, bagaimana modal bisa kembali dan berputar lagi. Tantangan agar tercipta akumulasi dan perputaran kapital yang terjaga inilah yang menyebabkan terjadinya penyelewengan, misalnya terhadap komitment dibangunnya lokalisasi. Buntutnya, lokalisasi di suatu tempat yang sudah terlanjur ada bukannya mampu meredam aktivitas prostitusi secara bertahap, namun justru bertahan dan membesar, sehingga akhirnya semakin menjauh dari tujuan awalnya. Kebutuhan kedua adalah bagaimana agar demand selalu dapat dipenuhi, sehingga roda industri dapat terus bergerak. Secara sederhana pertanyaan tersebut dapat dijawab, dengan menjaga konsistensi pasokan (suply) komoditas bahan baku, yaitu perempuan. Tuntutan untuk senantiasa dapat menarik pelanggan dan memenuhi kehendak pasar ini merupakan penyebab utama maraknya aksi kejahatan perdagangan perempuan (women in trafficking). Penipuan, intimidasi, pemaksaan, dan kekerasan adalah instrumen-instrumen yang kerap digunakan untuk menjebak perempuan ke dalam dunia prostitusi. Akhir-akhir ini praktek-praktek perdagangan perempuan, telah menjadi suatu variabel kunci yang linier dengan dunia prostitusi. Coalition Against Women in Trafficking (CAWT) dalam sebuah laporannya di tahun 1998 menyebutkan tujuan utama perdagangan perempuan adalah untuk kepentingan industri prostitusi. Meskipun dalam perekrutannya seringkali disamarkan lewat iming-iming pekerjaan pembantu rumah tangga, pelayan restoran, karaoke, salon, dan pariwisata, bahkan kawin kontrak. Ironisnya, menurut laporan organisasi ini terdapat ratusan perempuan dan tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia yang terjerat dalam industri prostitusi di Saudi Arabia, Taiwan, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Australia, Korea Selatan, dan Jepang. Kebanyakan para wanita yang tertipu itu, pada awalnya ditawari pekerjaan dengan beragam fasilitas menggiurkan, namun tanpa diduga ternyata mereka dijual dan dipaksa untuk bekerja di tempat-tempat hiburan sebagai wanita penghibur (WTS/PSK). Selain dua kebutuhan yang telah disebutkan sebelumnya, kebutuhan ketiga yang juga krusial adalah bagaimana menjual produk secara aman. Kebutuhan akan keamanan inilah yang dalam prakteknya melahirkan berbagai kekuatan back up dan tukang pukul yang sering diisukan berhubungan dengan preman, oknum militer dan oknum aparat keamanan. Melihat konspirasi yang begitu menakutkan begini, tak mengherankan jika dari berbagai kasus yang terungkap, kita dapati banyak cerita tentang bagaimana sulitnya bagi mereka yang sudah terperangkap di dunia prostitusi untuk melepaskan diri dari dunia tersebut. Tekanan sosial dari masyarakat dan ancaman fisik dari para tukang pukul membuat mereka takut untuk pergi atau lari. Industri prostitusi memang seperti perangkap ikan, bisa masuk, namun jangan harap bisa melepaskan diri secara mudah. Memotong proses industrialisasi prostitusi Sudirman HN (2001) menulis bahwa luasnya praktik perdagangan perempuan dan prostitusi di Indonesia terjadi karena banyaknya faktor yang mendukung dan memungkinkannya terus berkembang. Pertama, ketiadaan pilihan akibat kemiskinan dan pengangguran yang membelit dan tersebar luas. Kedua, lemahnya posisi perempuan akibat kultur dan struktur patriarkhi dalam masyarakat Indonesia. Ketiga, lemahnya komitment dan kebijakan negara untuk mencegah serta menanggulangi masalah perdagangan perempuan dan prostitusi. Keempat, banyaknya praktik kolusi atau jaringan pelaku perdagangan perempuan, pemilik industri prostitusi dengan aparat negara, termasuk aparat keamanan (TNI dan Polri). Kesemua variabel inilah yang pada gilirannya membuat praktek prostitusi - yang oleh Jalaluddin Rahmat disebut sebagai perbudakan perempuan di jaman modern - tumbuh menjadi sebuah permasalahan yang sangat kompleks. Penyebab dan pengaruhnya menembus berkelindan pada semua lini kehidupan sosial kita. Akibatnya, dari hari ke hari permasalahan prostitusi semakin sulit untuk diselesaikan. Penutupan lokalisasi maupun program rehabilitasi ternyata tidak mampu memberi dampak yang cukup maksimal. Kesulitan ini muncul karena banyaknya faktor pendukung, sebagaimana telah dikemukakan diatas, yang berhulu pada sebuah persoalan yaitu terjadinya proses industrialisasi prostitusi. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama dari semua pihak, mulai institusi formal negara sampai gerakan masyarakat secara mandiri untuk menangani permasalahan prostitusi dengan senantiasa mencoba menyentuh akar persoalannya, dari mulai kemiskinan, pengangguran, struktur dan kultur patriarkhi, mekanisme rekruitment TKW, hingga perlindungan dan kebijakan negara untuk kaum perempuan. Dalam kerangka ini, perlu untuk terus dikembangkan pola-pola aksi preventif, rehabilitatif, advokasi dan pemberdayaan sosial-ekonomi yang bercakupan luas. Tidak kalah pentingnya adalah melakukan upaya-upaya hukum yang tegas untuk memberantas semua jaringan perdagangan perempuan. Agar bekerja maksimal, kesemua upaya tersebut haruslah dilakukan secara sinergis dan sistematis dengan senantiasa membuka diri terhadap berbagai pendekatan, seperti analisis kebijakan, struktural fungsional, gender, HAM, sosial ekonomi, dan normatif keagamaan untuk kemudian bersama-sama melakukan aksi perlawanan terhadap semua proses industrialisasi di dalam dunia prostitusi. Priyo Handoko, S.AP, adalah Independent Researcher di Centre for Policy Analysis (CPA).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar